Cinta
bersemayam dalam jiwa-jiwa sang pencinta dan tempat yang teramat dalam dan
paling rahasia, karena hanya dirilah yang tahu cinta yang seperti apa yang
dirasakan. Cinta yang dirasa semu penuh nafsu, hanya akan bertahta pada
jiwa-jiwa yang tandus dan penuh angkara, disanalah cinta tak akan mampu
bertahan lama. Namun, jika cinta dirasa suci atasNya dan untukNya, ia datang
dari tempat yang halus dan lembut, meluruh dalam kehangatan ridhaNya.
Cinta
itu sebuah energi, yang mampu mengubah semuanya. Mengubah kebencian menjadi
rasa sayang, mengubah perselisihan menjadi perdamaian, mengubah keegoisan
menjadi pengorbanan. Dan aku cinta dengan jalan juangku menuju impianku, impian
untuk bertemu dengan sang pemilik cinta sejati, impian yang akan banyak tebaran
cinta untuk menemukan siapa dirinya dan untuk apa ia berada di bumiNya, impian
dimana aku mampu mengubah manusia menjadi memanusiakan, yang akan mengubah
bahkan menggemparkan dunia dengan karyanya, karena setiap manusia mempunyai kemampuan yang ia
mampu untuk menorehkan kemanfaatan untuk ummat, dan khususnya untuk tanah
kelahirannya. Itulah kewajiban manusia yang akan diminta pertanggungjawaban
kelak dihadapan Tuhannya, Tuhan yang Maha Luas Cintanya.
Aku
tinggal disebuah kampung yang jauh dari apapun, bahkan teman-temanku bilang
tempat tinggalku tidak ada di peta. Hmm, pernyataan gurauan dari teman-teman
tapi terlalu sesak untuk dirasakan. Daerah ini bukan hanya jauh dari
modernisasi yang masuk ke bangsa ini tetapi dari segi pendidikan pun sama
sekali tak terjamah oleh mereka yang menyusun kurikulum, dari segi ekonomi pun kami
jauh dari yang mereka bayangkan, oleh para pembuat kebijakan.
Cinta
yang diajarkan oleh ummi dan almarhum ayahku. Cinta tentang perubahan, perubahan
yang akan mengantarkan kami pada jannahNya, ya ayahku meninggal saat ia
menyebrangi sungai untuk mengajar, jembatan yang hanya terbuat dari tali rapuh
tapi banyak orang yang berlalu lalang melewatinya, untuk mencari nafkah.
Pernah
suatu kali aku bertanya “kenapa ayah mau untuk mengajar tanpa di kasih upah?
Padahal untuk beli beras saja ayah dapat dari kuli panggul”, ayah selalu dengan
senyumnya yang lembut menjawab “karena ayah cinta, cinta. Cinta yang membuat
ayah seperti ini, cinta itu membuat hati ayah untuk melakukannya, melihat
anak-anak itu belajar membaca, menemukan jati dirinya, menemukan kemampuannya
untuk dijadikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan untuk ummat kelak dan
perubahan yang akan mengantarkan ia kepada Tuhannya, dengan senyuman
terindahnya”, sambil mengusap kerudungku yang berantakan karena habis dari
sawah dengan ummi, lalu ummi menyahut dari dapur kecil kami “karena itu, ayahmu
menamakanmu Cinta Nurul Huda, yang artinya dengan cinta kau menuju cahaya
pengetahuan dan petunjuk, untuk dirimu sendiri dan untuk ummat kelak, untuk
bangsa ini cinta”. Aku hanya terdiam tidak mengerti, karena mungkin usiaku
waktu itu masih dini. Sekarang aku mengerti apa maksud namaku itu, dan karena
aku merasakannya cinta itu juga.
Selepas
SMA aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di bangku kuliah,
di sebuah universitas terkemuka di bangsa ini. Tanpa berfikir lagi, ummi
langsung mempersiapkan semua kebutuhanku dari mulai pakaian sampai garam masak
pun dimasukkannya kedalam tas ransel.
Melihat
ummi begitu semangat, aku teringat ayah dan dalam benakku berkata andai saja
ayah masih hidup dia pasti bahagia mendengar berita ini dan andai dia masih
hidup aku tidak ragu lagi meninggalkan ummi di kampung ini sendiri, ya tanpa
sanak saudara. “cinta, kamu ngelamun?”, Tanya ummi menghentikan lamunanku, aku
hanya tersenyum. “jangan khawatir cinta, ada Allah yang akan menemani ummi
disini. Kamu disana harus belajar yang sungguh-sungguh dan cepat kembalilah
kesini, disini kamu bukan hanya harapan ummi tapi masyarakat disini”, nasehat
ummi seolah-olah ummi tahu isi pikiranku. Sambil menunjuk anak remaja diluar
rumah kami ummi melanjutkan nasehatnya untukku, sebelum pergi. “lihat itu
cinta, andai saja ia sekolah maka dia tidak akan membantu menjadi kuli panggul
padi disini, tapi ia menyumbangkan ide-ide cemerlangnya untuk perubahan
dikampung kita bahkan untuk Negara ini”. ah ummi, kau begitu sosok luar bias
untukku, rasa syukur yang tiada tara untukku ungkapkan padaNya karena aku
terlahir dari rahim wanita yang begitu luar biasa, dan dari seorang ayah yang
selalu berfikir untuk ummat. Padahal ayah hanya lulusan SMP dan ummi hanya
lulusan SD.
Aku
langsung memeluknya, dalam hati aku berjanji aku akan kembali dan mengubah
semuanya. Tanpa terasa air mataku mengalir, dan takut ummi menyadarinya aku
langusng mengusap air mataku, aku malu jika aku menangis dihadapanya, ummi
tidak pernah berkeluh kesah walau kehidupan yang ia rasakan begitu pahit dan
bahkan membuat penglihatannya tidak setajam dulu, karena ummi sering
panas-panasan menjadi kuli penanam padi.
Aku
di antar ummi menuju jalan raya, untuk naik bus. Aku berjalan menapaki gang
kecil pemisah sawah. Disetiap langkahnya, aku berjanji dan terus berjanji,
kelak ketika aku diberikan umur panjang aku akan kembali, dan itu karena aku
cinta. Aku akan merindukan kampung ini, kampung yang mengajarkanku banyak hal,
bahkan tentang cinta. Setiap orang yang ku temui, mereka mengusap kerudungku,
dengan senyum ketulusan mereka mengucapkan “semoga kau selalu dalam
lindungannya, cepat kembali, kami akan menunggumu cinta”. Aku hanya mengangguk,
tak sanggup satu patah kata pun yang terucap, hati ini terus memuji kebesaranMu,
dan bismillah. Tentu mereka banyak menggantungkan harapannya padaku, karena
bisa dihitung anak-anak disini yang melanjutkan sekolah bahkan hanya aku yang
melanjutkan ke bangku kuliah, teman-teman sebayaku selepas SMP dan SMA mereka
langsung menikah dan kerja di sawah.
Ummi
memelukku, ketika bus yang ku tunggu datang. “hati-hati dijalan cinta, ummi
akan selalu mendo’akanmu” ucap ummi lirih, “jaga kesehatan ummi, dan..” aku
tidak kuat lagi berkata-kata dan tangisku langsung pecah. Pelukkan umi semakin
kuat, “kamu tidak sendiri cinta, selalu ada Allah bersamamu” ucap ummi didekat
telingaku.
Bus
melaju dengan cepat, tapi tidak secepat aku melupakan tanah kelahiranku, aku
semakin rindu. Jalan begitu ramai, tapi kenapa hati ini masih terasa sepi. Aku
merindukan ummi, merindukan kampungku, ku buka ranselku dan aku ambil foto
kecilku bersama ummi dan ayah, aku merindukan kalian. Ku pandangi wajah
almarhum ayah, aku masih ingat ketika rumah kami kebanjiran karena hujan deras,
bukan barang-barang yang ayah selamatkan tapi buku-bukuku dan aku masih ingat
kata-katanya, “ini yang lebih berharga cinta, bukan karena bukunya tapi karena
isi bukunya, ini tidak bisa dinilai dengan apapun”. Ah ayah, aku sangat
merindukanmu. Tanpa terasa air mata menetes tepat di foto wajah ayah.
Bus
terus berjalan, menuju kota impian bagi para pencari ilmu. Kota harapan, yang
bukan hanya orang-orang yang mencari ilmu saja yang datang kesina, tapi untuk
orang-orang yang ingin mengadu nasib juga, mereka datang tanpa ada bekal yang
cukup, baik finansial maupun keahlian, hanya berlandaskan keyakinan, yah mereka
benar-benar mengadu nasib. Kota harapan bagi mereka yang mencita-citakan
perubahan. Kota yang tidak ada lagi para petani berjalan di sawah, tapi kota
yang orang-orangnya berlalu-lalang di gedung-gedung besar.
Kulihat
disampingku, seorang ibu-ibu yang mungkin sebaya dengan ummi, ia menggendong
bayinya, lucu. Mungkin, dulu juga aku seperti itu, merepotkan ummi dan ayah. Ku
lihat sebelah jendela bus, melewati pohon-pohon besar dan gedung-gedung tinggi
sudah terlihat. Biarlah ku torehkan cerita di sepanjang jalan ini, dan ketika
aku kembali akan menjadi saksi bahwa aku kembali dengan membawa secercah
kebahagiaan untuk mereka.
Sesampainya
di kota harapan, aku diantarkan oleh salah satu pengurus asrama di kampus
menuju kamar yang akan ku tempati, “kamu akan tinggal dikamar ini sama
mahasiswi yang bernama Alin, dia dari Bogor” jelasnya. Aku hanya mengangguk dengan
seulas senyuman.
Tidak
lama kemudian, saat aku sedang merapihkan baju-bajuku ke lemari, tiba-tiba pengurus
asrama yang tadi mengantarkanku. Kayanya ini yang namanya alin, batinku. Anak
itu langsung duduk dikasur dan menangis, aku sempat kebingungan kenapa anak ini
tiba-tiba nangis. “alin kenapa?” tanyaku, tanpa basa basi. Dia membuka
tangannya yang dari tadi menutupi mukanya, dan langsung memelukku. “aku enggak
mau tinggal disini, aku enggak betah ditempat yang semuanya di atur, aku ingin
pulang” tuturnya. Aku hanya memeluknya, mengusap air matanya. Kata almarhum
ayah, “jangan banyak bicara, apalagi kalau cinta belum kenal seperti apa
sifatnya, kalau sudah tahu sifatnya cinta bisa menasehatinya agar tidak ada
salah faham”.
Hari
demi hari berlalu, aku dan alin sudah bisa dekat. Dia orangnya mudah untuk
menerima orang baru, bahkan orang sepertiku, yang dari kalangan bawah. Alin
setiadewi, terlahir dari seorang ibu yang sibuk dengan dunia karir sebagai
designer dna dari seorang ayah yang sibuk di perusahaan. Setiap malam, sebelum
tidur alin selalu cerita tentang keluarganya, sahabat-sahabatnya, hobinya yang
pergi ke mall dan pacarnya. Aku ingin jadi pendengar yang baik untuk alin, jadi
ingat nasehat ummi, “kalau ingin mengajarkan yang baik-baik pada orang lain,
buatlah mereka nyaman dulu pada kita”.
Alin sedikit demi sedikit sudah bisa
ku nasehati, biar tidak malas belajar. Dan berprasangka baik pada kedua orang
tuanya. Dan aku juga sudah sibuk dengan studiku, dengan organisasiku, aku
bergabung dengan Badan Eksekutif Mahsiswa dan Ikatan Keluarga Muslim.
Sangat
berbeda, ketika aku menjadi seorang siswa dan sekarang mahasiswa. Sekarang aku
bisa paham kenapa mashiswa sering turun kejalan, ketika ada kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai atau menjdzolimi rakyat. Sekarang aku bisa
memasukkan isu tentang daerahku, bukan karena ingin daerah aku saja yang
diperbaiki tapi aku juga akan mengangkat daerah-daerah yang memang tertinggal.
Saat ada isu tentang kemiskinan, maka aku mengakat daerahku sebagai bukti, saat
ada isu tentang pendidikan yang ternyata masih belum bisa dirasakan oleh rakyat
sepenuhnya maka aku juga mengangkat daerahku sebagai buktinya.
Kami
mengadakan aksi di jalan-jalan menyuarakan keadilan, bukan karena kami ingin
dipandang sebagai pahlawan, bukan juga kami ingin merusak rencana-rencana
pemerintah untuk kemajuan bangsa ini, tapi disini kami ingin memperlihatkan
pada mereka yang pemegang kekuasaan bahwa ada rakyat yang berada digaris
kemiskinan, ada anak-anak yang belum merasakan bangku sekolah.
Lelah
memang lelah ketika aku ikut turun kejalan, panas bukan lagi rintangan, terkadang
terkena pukul dari para aparat, tidak digubris sama orang-orang pemegang
kekuasaan tidak menyurutkan semangatku untuk tetap berada dibarisan orang-orang
yang menyuarakan keadilan, mungkin ini yang disebut cinta. Ya, karena aku
cinta, aku cinta kepada mereka yang ingin sekolah, aku cinta pada mereka yang
ingin bekerja untuk tidak berada dalam garis kemiskinan. Semua ini, aku lakukan
karena aku cinta.
Ternyata,
aku juga ikut turun kejalan bersama mahasiswa muslim lainnya ketika Palestina
sebagai sasaran biadab israil, kami disini bukan hanya mereka saudara seiman
kami, tapi kami disini menyuarakan hak dan kewajiban sebagai Negara yang
merdeka, tentang prikemanusiaan, tentang kehidupan.
“Kamu
jangan terlalu sibuk dengan oragnisai cinta, nanti kuliahmu berantakan”,
nasehat alin. Aku balas dengan senyuman, “kau sekarang udah jadi ibu-ibu ya?
Udah bisa nasehatin juga, hehe” candaku. Alin langsung menekuk wajahnya, aku
tahu alin itu suka ngambek jadi cepat-cepat aku ambil posisi “terima kasih
saudariku, insya allah organisasi itu bukan halangan atau hambatan kita untuk
berprestasi, tapi justru pelajaran yang sangat berharga yang tidak bisa
didapatkan dibangku kuliah lin”, tuturku, “kamu enggak capek ta, waktu
istirahatmu tersita untuk mengurusi ini dan itu?” tanyanya, “karena aku cinta
lin, jadi walaupun lelah tidak tersa lelah, karena aku cinta padaNya” jelasku.
Alin hanya diam, dan menyubit pipiku.
Sudah
hampir tiga tahun aku disini, aku rindu sama ummi, rindu untuk berziarah ke
makam ayah. Alin bisa pulang kapan saja, kalau aku harus berfikir ulang untuk
pulang, ongkos buat pulang bisa aku manfaatkan untuk beli buku-buku kuliahku.
Uang
dari hasil kiriman-kiriman artikelku tentang ekonomi, karena aku jurusan
ekonomi jadi aku buat artikrl-artikel yang menghubungkan antara teori yang aku
dapat dengan kenyataan yang ku lihat, sebagai tambahan tabunganku untuk
mengirim uang buat ummi. Karena artikel-artikel yang aku buat dilirik sama
pembaca, maka Dosen menyarankan aku untuk ikut ajang kompetisi karya ilmiah.
Aku susun rencana, untuk mengambil daerahku sebagai objek penelitianku.
Aku
berada didalam barisan para finalis kompetisi karya nyata mahasiswa, untuk
mempresentasikan hasil penelitian kami didepan para juri, para pejabat
pemerintah sebagai perwakilan, dan dari para dosen perwakilan
universitas-universitas di bangsa ini. gugup memang gugup, tapi ini kesempatan
bagiku untuk memperjuangkan hak-hak didaerahku, batinku menguatkan. Beberapa
jam kemudian, kini giliranku untuk memprentasikan. Bismillah ucapku dalam hati
“karya
penelitianku, tentang pendidikan. pedidikan itu merupakan usaha sadar seseorang
untuk mengubah dari yang tidak baik menjadi baik, bertambahnya wawasan, dan
sebagainya. Dan intinya pendidikan itu memanusiakan manusia, bahkan dalam ekonomi pembangunan pun
menjelaskan ekonomi memang hal yang sangat penting untuk kesejahteraan tapi
jauh lebih penting untuk memanusiakan manusia, ketia manusia itu sudah
mempunyai kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai manusia maka pertumbuhan
ekonomi itu akan tumbuh dengan sendirinya, karena kualitas sumber daya
manusianya. Bukankah penyadaran manusia untuk menjadi manusia yang berkualitas
itu dengan pendidikan? bukankah maju mundurnya suatu Negara, dilihat dari
kualitas manusianya? Tapi kenapa? Kenapa pendidikan itu belum dirasakan seluruh
rakyat bangsa ini? bukankah ini sebagai aset terbesar yang dimiliki bangsa?”
Aku
berhenti mengambil nafas, entahlah yang ku sampaikan bukan hanya hasil
penelitianku, tapi ada sesuatu hal yang membuatku terasa sakit saat berbicara
daerahku sebagai bukti ketertinggalan pendidikan, bahkan ketika aku mengingat
ketika ayah terjatuh dari jembatan rapuh untuk mengajar, untuk perubahan.
Teman-temanku berhenti sekolah karena tidak punya uang untuk membeli buku, toni
teman sebangkuku meninggal karena menolongku ketika bangunan sekolah roboh saat
musim hujan turun, aku dan para masayarakat hanya makan dengan singkong saat
musim kemarau datang. Dadaku semakin sesak, ketika mengingat semua itu, Illahi
Rabbi, aku tahu ini rencanaMu, maka kuatkanlah hambaMu yang lemah ini.
“Lanjutkan
cinta” suara moderator mengingatkanku, ku tarik nafas panjang dan ku lanjutkan
“tapi pada kenyataannya tidak seperti itu, aset bangsa itu terabaikan, mereka masih
banyak anak yang ingin sekolah tapi tidak didukung dengan sarana dan prasarana
yang memadai, buktinya didaerah cikesak, tempat tinggalku. Ini bukan
karanganku, tapi data statistik yang ku dapat dari BPS menunjukkan didaerah
cikesak pendidikan yang bisa dirasakan oleh masyarakat disana hanya 10%, dan
itu hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama” jelasku.
Tiba-tiba
seorang perwakilan dari pejabat pemerintahan mengacungkan tangan, “ya, silahkan
untuk mengajukan pertanyaan” moderator mempersilahkan. “jadi, kau menyalahkan
pemerintah, begitu? Terus apa solusi menurut kamu? Karena disini bukan
berbicara fitnah” jelas perwakilan dari pejabat pemerintahan dengan nada
tinggi, bukan kaget lagi otakku langsng berfikir ulang, apakah ada kata-kata
yang merujuk pada fitnah? Rabbi, tunjukkan bahwa yang benar itu benar dan yang
salah itu salah, bahwa ini bukan kebohongan tapi kebenaran. Lancarkanlah lisan
ini untuk menjawab kebenaran itu.
“yah,
silahkan saudari cinta, jawab pertnyaannya” moderator mengingatkanku, “disini,
saya tidak pernah mencari kekurangan yang dimiliki pada salah satu pihak, tapi
disini saya mencari solusi untuk melengkapi kekurangan itu. Bukan hanya
pemerintah dan rakyat saja, tapi seluruh lapisan yang ada dibangsa ini,
pengusaha, pedagang, bahkan sampai para petani pun ikut berperan disini.
Pendidikan, bukan hanya tanggungjawab orang tua dan pemerintah, tapi
tanggungjawab semuanya. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan
dihati bapak ibu sekalian. Tapi ingatlah, saya disini bukan untuk mengumbar fitnah
tapi menyampaikan kebenaran, bahwa saudara-saudara kita disana masih ada yang
belum mersakan hidup merdeka seperti kita, merdeka itu bukan hanya kita telah
lepas dari para penjajah, tapi merdeka dalam hal kita mendapatkan hak dan
kewajiban kita”. Jelasku, walaupun dari rasa gugup tapi inilah kebenaran, dan
aku lakukan ini karena aku cinta, yah cinta yang membuatku berenergi untuk
melakukan ini, bahkan sampai orang-orang membenciku pun tidak masalah bagiku,
karena aku cinta, cinta untuk mengungkapkan kebenaran itu.
“kita
selalu disibukkan dengan rencana-rencana luar biasa, tapi kita tidak pernah
melihat apakah rencana luar biasa itu bisa dirasakan oleh orang lain? Apakah
rencana luar biasa itu hanya kita saja yang merasakan?. Tentu tidak, berdirinya
saya bahkan mereka yang menyuarakan tentang nasib rakyat itu, bukan ingin
dikatakan sebagai pahlawan, tapi sebagai perantara dari kehidupan rakyat yang
begitu memilukkan bagi saya bahkan bagi kami. Kita lihat, seperti apa objek
yang akan kita bangun? Permasalahannya apa? disanalah kita merumuskan bagaimana
cara untuk membangun objek itu, pun ketika kita ingin membangun bangsa ini,
permasalahannya di pendidikan yang belum dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, objek yang kita bangun adalah manusia, yang mempunyai cipta, rasa
dan karsa. Bayangkan, jika aset itu kita bangun, kita kembangkan, tidak ada
kata mungkin lagi untuk kita sebagai Negara yang maju. Diskusikan dengan para
pembuat kebijakan di kampus, untuk mengabdikan karyanya demi masyarakat.
Sosialisasikan pada masyarakat yang masih awam tentang pentingnya pendidikan.
ciptakan lulusan pelajar itu bukan hanya mencari pekerjaan, tapi menciptakan
lapangan pekerjaan. Pemerintah, buat kebijakan yang mendukung pendidikan dan
berlangsungnya perekonomian, bukan hanya di kota tapi di desa-desa terpencil.
Apalagi sekarang ada otonomi daerah, dengan itu setiap daerah bisa memajukan
daerahnya masing-masing, sesuai dnegan kemampuannya”.
Aku
menundukkan kepalaku, terasa bumi terhenti dari perputarannya, nafasku
tersendat, perih mengingat ketika aku berjalan di trotoar jalan raya, aku masih
melihat anak-anak kecil mengais makanan sisa, uang hasil jualan koran mereka
tidak cukup untuk membeli makanan enak, yang terkadang orang kaya membuang
makanan sisa itu dengan mudahnya.
Aku
mengangkat kepalaku, semua orang yang ada didepanku terpenganga, entah karena
penjelasanku yang tidak mereka pahami, karena bahasaku yang semrawut. Atau
entah kenapa? Rabbi, ini aku lakukan karenaMu. Beberapa menit, suasana hening.
Dan tiba-tiba ada seorang dosen berdiri dan bertepuk tangan, “luar biasa”
nadanya keras sampai terdengar ke luar. Dan semua orang berdiri, pun bertepuk
tangan.
Sebulan
setelah kompetisi itu, dengan membawa piala dari mentri pendidikan nasional.
Ada tawaran dari pengusaha-pengusaha yang datang waktu itu untuk membantu dan
menyumbangkan untuk sarana dan prasarana di daerahku. Dan penelitian yang waktu
itu, diloloskan oleh dosen dijurusanku untuk skripsi, sebagai prasyarat
kelulusanku. Ini janjiMu, ketika kau memudahkan urusan orang lain, maka Dia
akan memudahkan setiap urusanmu.
Dua
hari lagi aku ujian sidang, aku mengabari ummi dikampung, meninta do’a
sekaligus mengabari aku akan pulang. Ku dengar suara ummi yang serak,
mungkinkah dia menangis? “cepatlah pulang cinta, ummi ingin melihatmu
menebarkan cinta dan semangat perubahan itu, utnuk terakhir kalinya”. Aku hanya
terdiam, kata-kata ummi masih belum ku mengerti, tapi intinya aku akan membawa
perubahan itu. Sudah hampir 4 tahun aku tidak melihat ummi, ah ummi aku sungguh
merindukanmu. Walaupun kami jauh, selalu ku panjatkan do’a sebagai pengikat
hati, bahwa hanya jasad kami yang berjauhan tapi hati kami selalu bersama.
Ujian
sidang skripsi telah ku lalui, ada tawaran untuk mengajar di SMA Favorit di
kota ini. Tapi aku langsung menolaknya, karena ada cinta-cinta dikampung
halamanku yang sedang menungguku. Ah, wajah-wajah polos situ membuatku rindu.
Rindu dengan persawahan yang sejuk dengan aliran sungai disampingnya, jernih.
Rindu dengan burung-burung yang hinggap dijalan-jalan saat matahari mau
terbenam.
Aku
pamitan sama alin, “terimakasih untuk semuanya, kau mengajariku banyak hal, tentang
kehidupan, tentang masa depan dan bahkan tentang kehidupan akherat kelak” kata
alin sambil menangis di bahuku, ah alin andai kamu tahu begitu banyak
kekuranganku, tapi Dia masih sayang sama hamba yang hina ini, masih menutupi
aib-aibnya. Hidup denganmu juga, adalah pelajaran berharga untukku. Terima
kasih, semoga kelak kita dipertemukan kembali.
Hari
ini, detik ini aku, aku menginjakkan kakiku setelah 4 tahun meningglakan tanah
kelahiranku. Udara ini, udara yang ku rindukan, lumpur-lumpur sawah ini wangian
yang ku rindukan, ummi aku datang. Anak-anak kecil berlarian mengerumuniku,
anak-anak yang dulu aku mengajar saat waktu aku maish di SMA. Bapak-bapak dan
ibu-ibu, datang menjengukku, menanyakan bagaimana aku mampu hidup 4 tahun di
kota.
Sebulan
aku berada disini, pengusaha-pengusaha dan tentunya atas bantuan pemerintah
juga, yang dulu menawarkan bantuan ke desa ini, sudah memenuhi janjinya.
Membuat perpustakaan, membuat renovasi sekolah, membuat jembatan penghubung, pengajar
relawan pun berdatangan, mensosialisasikan koperasi pada para warga, dan
tentunya mengajar ngaji anak-anak dirumahku, rumah reot ini.
Ku
pandangi wajah ummi, ketika ummi tertidur. Ummi, maafkan cinta, selama ini
cinta sibuk dengan yang lain tanpa memperhatikan wajah ummi, kini wajahmu
semakin lelah. Ku pegang tangannya, kasar. Dengan tangan ini, ummi membentukku
jadi pribadi yang sekarang. Tangan ini, yang setiap hari menanam atau mengurus
padi-padi disawah orang untuk menghidupiku dan membantu ayah. Ku pandangi
sekeliling rumah dari setiap sudut, tidak ada yang berubah hanya papan-papan
yang dijadikan sebagai tembok sudah mulai rapuh.
“kamu
belum tidur cinta?” kata ummi mengagetkanku, cepat-cepat aku usap air mataku
yang tidak terasa mengalir. Aku hanya tersenyum. Tiba-tiba ummi mengambil
sesuatu bungkusan dari lemari rapuhnya, “uang kirimanmu ummi simpan cinta,
kelak uang ini kau gunakan untuk keperluan pribadimu, untuk kamu menikah. Entah
kenapa beberapa kali ummi bermimpi
menemui seseorang yang mukanya bercahaya dan mengatakan akan tiba
waktunya. Jadi, khawatir ummi tidak bisa hadir dihari bahagiamu, ummi kumpulkan
uang kirimanmu” jelas, ummi. Ummi, kenapa kau berbicara seperti itu, bukankah
kematian itu sebuah misteri? Ku pegang tangannya, hangat sekali. Kurangkul
tubuh kurusnya, dengan erat. Ummi mengusap kerudungku, dan beberapa saat
kemudian ummi berbisik padaku “ummi sangat mencintaimu, kelak kita bisa
berkumpul dengan ayah di jannahNya kelak. Laaillahaillallah
Muhammadarasulullah”. Air mataku mengalir deras, dan jantung ummi tidk lagi
berdetak. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun, ucapku.
Seminggu
sudah aku hidup sendiri, tanpa ummi. Ku melihat langit-langit, teduh. Ayah,
ummi semoga kita dipertemukan. Ku susuri jalan-jalan dipersawahan, pohon sejak
aku kecil masih ada, pohon itu jadi saksi ketika aku duduk menunggu ayah dan
ummi menanam padi. “pulang sekolah, pulang sekolah” teriak anak-anak kecil.
Semoga kalian jadi generasi terbaik, yang akan membanggakan bangsa, do’aku.
Melihat bapak-bapak dan ibu-ibu sibuk dengan pekerjaannya, selain disawah
sekarang sudah ada kerajinan tangan dan koperasi. Ku langkahkan kaki ini menuju
rumahku, rumah yang berarti bagiku. Hembusan angin, mulai terasa, akan datang
musim hujan. Burung-burung itu bertebaran dimana-mana mencari tempat untuk berteduh,
karena matahari kembali ke asalnya, mempersiapkan diri untuk hari esok, tentu
atas ijinNya. Ayah, ummi. Kalian melihatnya? Kini impian kita tentang desa ini
sedikit demi sedikit tercapai, ya tentunya atas kehendakNya. Dengan cinta,
dengan pengorbanan, dengan keikhlasan, dengan keyakinan, dengan kegigihan,
dengan keuletan, semua itu akan bisa dicapai. Karena mimpi itu butuh karya nyata,
karya nyata untuk bangsa ini. Bukan mimpi yang merendam.