Minggu, 27 Februari 2011

Rangkuman FIQH MUAMALAH ( Rangkuman Bab 1-10 )

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Pengertian Muamalah

Pengertian Muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan dari segi istilah. Menurut bahasa Muamalah artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.

Pengertian menurut istilah, dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pengertian muamalah secara luas dan sempit. Dalam arti luas, dari para ahli bahwa pengertian Muamalah ialah aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social. Sedangkan pengertian muamalah secara sempit para ahli menyimpulkan bahwa aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

B. Pembagian Muamalah

Menurut Ibn ‘Abidin, Fiqh Muamalah dibagi menjadi 5 bagian:

a. Mu’awadlah Maliyah ( Hukum Kebendaan )

b. Munakahat ( Hukum Perkawinan )

c. Muhasanat ( Hukum Acara )

d. Amanat dan ‘Aryah ( Pinjaman )

e. Tirkah ( Harta Peninggalan )

Menurut Al Fikr, dalam kitabnya “ Al Mumalah Al Madiyah wa Al Adabiyah muamalah terbagi menjadi 2 bagian:

a. Al Mamalah Al Madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian para ulama berpendapat bahwa Al Madiyah adalah muamalah bersifat kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memudaratkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi yang lainnya.

b. Al Muamalah Al Adabiyah adalah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

C. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Sesuai dengan pembagian muamalah, ruang lingkup muamalah terbagi menjadi 2. Yang pertama ruang lingkup muamalah secara adabiyah ialah ijab dan Kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dalam peredaran harta dalam hidup bermasyakarat.

Dan yang kedua adalah ruang lingkup muamalah secara madiyah ialah masalah jual beli, gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, jatuh bangkrut, batasan bertindak, perseroan atau perkongsian, perseroan harta dan tenaga, sewa menyewa, barang temuan, garapan tanah, sewa menyewa tanah, upah, gugatan sayembara, pembagian kekayaan betrsama, pembagian, pembebasan, damai, dan ditambah lagi dengan berbagai masalah mu’ashirah seperti masalah bank, asuransi, kredit, dan masalah baru lainnya.

D. Hubungan Hukum Islam dengan Romawi

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan dalam hubungan hukum islam dan romawi, pendapat yang pertama pendapat dari golongan orientalis, mereka berpendapat bahwa hukum islam benar-benar dipengaruhi oleh hukum romawi.

Pendapat kedua dikemukakan oleh para sarjana muslim, mereka berpendapat hukum islam sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum romawi, sebab hukum islam dipraktikan/diundagkan lebih dahulu dari pada hukum romawi, yakni hukum romawi timbul setelah sarjana barat mempelajari hukum islam.

Pendapat ketiga dikemukakan oleh Syaid Muhammad Hafidz Shabri, bahwa kedua pendapat tersebut memiliki kebenaran dan juga memiliki nilai kesalahan, karena itu golongan ketiga berpendirian lebih moderat.

E. Fiqh Muamalah dan Hukum Perdata

Fiqh muamalah dan hukum perdata, tentu berbeda. Dilihat dari sistematikanya, dalam fiqh muamalah tidak mengatur hukum secara pribadi, tetapi hukum itu ada di dalam ushul fiqh sedangkan hukum perdata mengatur hukum yang mengatur orang pribadi, dan dalam hukum perdata pun para ulama membahas ushul fiqh seperti tentang subjek hukum atau orang mukallaf.

BAB 2 KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA

A. Pengertian Harta

Harta dalam bahasa Arab disebut Al Mal yang berarti Condong, Cenderung, dan Miring. Pengertian harta menurut imam Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan. Sedangkan menurut Hasby Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga.

B. Unsur-unsur Harta

Menurut para Fuqaha harta bersendi pada dua unsur, unsur yang pertama yaitu unsur ‘aniyah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan. Yang kedua unsur ‘urf yaitu unsur segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.

C. Kedudukan Harta

Pada surat Al Kahfi:46 dan Al Imran:14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan, jadi kebutuhan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan hal yang mendasar.

Pada surat Al Thagabun:15 menjelaskan bahwa antara harta dan anak disambung dengan wawu athaf, dan bahwa sesuatu yang dijelaskan dengan wawu athaf kedudukan hukumnya sama.

Pada hakikatnya, segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi hanya milik Allah. Dijelaskan dalam surat Al Baqarah:284, Al Maidah:18, Al Baqarah:120. Konsekuensi logis dalam surat-surat dan ayat-ayat ini adalah:

1. Manusia bukan pemilik mutlak.

2. Cara-cara pengambilan manfaat harta mengarah pada kemakmuran bersama.

3. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum.

Berkenaan dengan harta, dalam Al Qur’an dijelaskan larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, yaitu:

1. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia.

2. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.

3. Penimbunan harta dengan jalan kikir.

4. Aktivitas yang merupakan pemborosan.

5. Memproduksi, memperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang yang terlarang seperti narkotika dan minuman keras, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan.

D. Pembagian Harta

1. Mal Mutaqawwim dan Ghair Mutakawwim.

Harta mutakawwim adalah semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaannya. Dan harta ghair mutaqawwim adalah yaitu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya.

2. Mal Mitsli dan Mal Qimi.

Mal Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditemapt yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dan Mal Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karenanya tidak dapat berdiri sebagian ditempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.

3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal.

Harta istihlak terbagi dua, yaitu istihlak haqiqi yang artinya suatu benda yang menjadi harta yang secara \jelas zatnya habis sekali digunakan. Dan yang kedua istihlak huquqi yang artinya harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada.

Harta isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara.

4. Harta Manqul dan Ghair Manqul

Harta manqul adalah segala harta yang dapat dipindahkan bergerak dari satu tempat ketempat yang lain. Dan harta ghair manqul adalah sesuatu tang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari temapt yang satu ketempat yang lain.

5. Harta ‘Ain dan Dayn

Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda, harta ‘ain terbagi dua yang pertama harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Yang kedua harta ‘ain ghyar dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga. Sedangkan Harta Dayn adalah sesuatu yang ada dalam tanggung jawab.

6. Mal al-‘ain dan mal al-naf’i.

Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk. Dan harta naf’I adalah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa.

7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur.

Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan maupun milik badan hukum. Harta mamluk terbagi dua, yang pertama harta perorangan yang berpautan dengan harta bukan pemilik. Dan yang kedua harta perkongsian anatara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya. Asalnya bukan milik seseorang.

Harta mubah ialah sesuatu yang pada seperti air pada mata air. Dan harta Mahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendirin memberikan pada orang lain menurut syariat.

8. Harta yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi. Dan Harta yang tidak dapat dibagi ialh harta yang menimbulkan kerusakan atau kerugian apabila harta tersebut dibagi-bagi.

9. Harta pokok dan harta hasil.

Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain, dan harta hasil ialah terjadi dari harta yang lain.

10. Harta khas dan harta ‘am

Harta khas ialah harta pribadi, tidak sekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya. Dan harta ‘am ialah harta milik bersama yang boleh diambil manfaatnya.

E. Fungsi Harta

Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah khas, sebab ibadah memerlukan alat-alat. Untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode selanjutnya. Untuk menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat. Untuk menegakan dan mengembangkan ilmu-ilmu. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan. Untuk menumbuhkan silaturahim.

BAB 3 HAK MILIK

A. Asal Usul Hak.

Hak milik dalam gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat islam, tabiat dan syariat ialah merdeka. Syarit islam dalam menghadapi berbagai kemusyrikan senantiasa bersandar kepada maslahat. Corak ekonomi islam berdasarkan al qur’an dan as sunnah.

B. Pengertian Hak Milik.

Menurut pengertian umum hak ialah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara untuk menentukan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum. Hak adaklanya merupakan sulthah, adakalanya merupakan taklif. Sulthah terbagi dua yang pertama sulthah ‘ala an-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa seperti hak hadlanah. Yang kedua sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu.

Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggunag pribadi.

C. Pembagian Hak.

Dalam pengertian umum hak dapat dibagi menjadi dua yang pertama hak mal ialah sesuatu yang berapautan dengan harta, seperi pemiliknya benda-benda atau utang-utang. Yang kedua hak ghair mal, dalam hak ini terbagi dua yaitu yang pertama hak syakshi ialah suatu tuntunan yang dapat ditetapkan syara dari seseorang terhadap orang lain. Dan yang kedua hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua, hak ‘aini ada dua macam yang pertama hak ‘aini ashli ilah adanya wujud benda tertentu dan adanya shahub al haq, yang kedua hak ‘aini thab’I ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang untuk mengutangkan uangnya atas yang berutang.

Macam-macam hak ‘aini, hak milikyah, hak al intifa, hak al irtifak, hak al istihan, hak al ihtibas, hak qarar hak al murur, hak ta’alli, hak al jiwar, hak syafah,

D. Sebab-sebab Pemilikan.

Harta berdasarkan sifatnya bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia.

a. Ikraj al mubahat, untuk harta yang mubah. Untuk memiliki benda-benda mubahat ada dua syarat, yang pertama benda mubahat belum diikhrazkan oleh orang lain, yang kedua adanya niat untuk memiliki.

b. Khalafiyah, ilah bertempanya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat ditempat yang lama, yang telah hilang berbagai macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yang pertama khalafiyah syaksyi ‘an syaksyi ialah siwaris menempati si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan. Yang kedua khalafiyah syai’an syai’in ialah apabila seseorang merugikan milik orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang.

c. Tawallud min mamluk yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki, menjadi hak yang memiliki benda tersebut.

d. Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun.

E. Klasifikasi Milik.

Milik yang dibahas dalam fiqh muamalah secara garis besar idbagi menjadi dua.

1. Milk tam ialah suatu pemilikian yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus.

2. Milk naqisah ialah bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benad tersebut.

Dilihat dari segi mahal ( tempat ) dibagi menjadi tiga bagian.

1. Milk al ‘ain memiliki semua benda, baik benda tetap maupun benda-benda yang dapat dipindahkan.

2. Milk al manfaah, ialah seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda.

3. Milk al dayn ialah pemilikan adanya utang.

Dari segi shurah ( cara berpautan milik dengan yang dimiliki ), milik dibagi menjadi dua.

1. Milk al mumtamayyiz, ialah suatu yang berapautan dengan yang lain, yang meiliki batasan yang dapat memisahkannya dari yang lain.

2. Milk al syai’I ialah milik yang beraputan dengan sesuatu yang nisbi dari kiumpulan sesuatu betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu.

BAB 4 UQUD ( PERIKATAN DAN PERJANJIAN )

A. Asal-usul ‘Aqad

Aqad adalah bagian dari macam-macam tasharuf, yang dimaksud dengan tasharuf ialah segala yang keluar dari seorang manusia dan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya.

Tasharuf terbagi menjadi dua bagian yang pertama tahasaruf fi’li ialah usaha yang dialkukan manusia dengan tenaga dan badannya, selaain lidah. Yang kedua tahasaruf qauli ialah yang keluar dari lidah manusia, ini juga terbagi menjadi dua yang pertama aqdi ilah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang sling bertalian, yang kedua bukan aqdi ialah pernyataan pengadaan suatu hak dan tidak menyatakan suatu kehendak.

B. Pengertian ‘Aqad

Menurut bahasa aqad mempunyai beberapa arti yaitu mengikat, sambungan, janji. Sedangkan menurut istilah aqad ialah perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.

C. Rukun-rukun ‘Aqad

1. Aqid ialah orang yang berakad.

2. Ma’qud alaih ialah benda-benda yang diakadkan.

3. Maudhu al aqd ialah tujuan atau maksud pokok diadakannya aqad.

4. Shigat al aqd ialah ijab ( permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang beraqad sebagai gambaran kehendaknya) dan qabul ( setelah adanya ijab ).

Hal-hal yang harus diperhatiakan dala shigat

a. Shigat al aqd harus jelas pengertiannya.

b. Harus bersesuaian dengan ijab dan qabul.

c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang berkaitan.

D. Syarat-syarat ‘Aqad

a. Syarat-syarat yang bersifat umum, syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya.

b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, syarat yang wujudnya wajib ada dalam aqad.

E. Macam-macam ‘Aqad

1. Aqad munjiz ialah aqad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya aqad.

2. Aqad mualaq ialah aqad yang didalam pelaksanaannya terdapat suarat-syarat yang telah ditentukan dalam aqad.

3. Aqad mudhaf ialah aqad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan aqad.

Perwujudan aqad tampak nyata pada keadaan ini, yang pertama dalam kedaan muwadhahah yaitu kesepakatan dua oarng secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Yang kedua hazl yaitu ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, memperolok-olok yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari aqad tersebut. Dikarenakan adanya kecederaan ikrah, khilabah dan ghlalath.

Ada beberapa tinjauan aqad, yang pertama ada dan tidak adanya qismah pada akad, maka akad terbagi menjadi dua yaitu akad musammah ialah akad yang syarat da hukumnya telah ada, yang kedua ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara dan hukumnya. Yang kedua disyariatkan dan tidaknya aqad, dari segi ini terbagi menjadi dua yang pertama akad musyaraah ialah akad yang dibenarkan oleh syara dan yang kedua akad mamnuah ialah akad yang dilarang oleh syara. Yang ketiga sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi menjadi dua yang pertama akad shahihah ialah akad-akad yang mencukupi persyaratnnya, baik yang khusus ataupun yang umum, yang kedua akad fasihah ialah akad-akad yang cacat karena kurang salah satu syaratnya. Yang keempat sifat bendanya terbagi menjadi dua, yang pertama akad ainiyah ialah akadyang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang, yang kedua akad ghair ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang. Yang kelima cara melakukannya ini terbagi menjadi dua, yang pertama akad yang harus dilaksankan dengan upacara tertentu dan akad ridhaiyah ialah akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu. Yang keenam berlaku dan tidaknya akad terbagi menjadi dua, yang pertama akad nafidzah ialah akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang, yang kedua mauqufah ialah akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan. Yang ketujuh luzum dan dapat dibatalkannya terbagi menjadi empat, yang pertama akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan, yang kedua akad lazim yang dapat dipindahkan dan dirusakan, yang ketiga akad yang menjadi hak salah satu pihak, yang keempat akad lazimah yang menjadi hak kedua belah pihak menunggu persetujuan. Yang kedelapan tukar menukar hak terbagi menjadi tiga bagian, yang pertama akad muawadlah ialah akad yang berlaku atas dasar timbale balik, yang kedua akad tabarruat ialah akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, yang ketiga akad yang tabarruat ialah pada awalnya menjadi akad muwadlahah dan akhirnya menjadi akad qaradh. Yang kesembilan harus bayar ganti atau tidaknya, terbagi tiga bagian yang pertama akad dhamam, akad amanah, akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur. Yang kesepuluh tujuan akad, terbagi menjadi lima bagian, bertjuan tamlik, bertujuan mengadakan usaha bersama, bertujuan tautsiq, bertujuan menyerahkan kekuasaan, bertujuan mengadakan pemeliharaan. Yang kesebelas faur (akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama ) dan istimar( hukum yang terus berjalan ). Yang kedua belas asliyah ( akad yang berdiri sendiri ) dan thabi’iyah ( akad yang memerlukan yang lain ).

F. Ilzam dan Iltizam

Ilzam ialah pengaruh yang umum bagi setiap akad. Dan iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang lain.

BAB 5 RIBA

A. Pengertian.

Menurut bahasa riba artinya bertambah, berkembang, berbunga, berlebihan atau menggelembung. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.

B. Sebab-sebab haramnya riba.

1. Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya.

2. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imabangannya.

3. Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara.

4. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang.

C. Macam-macam riba.

Menurut Ibn jaziyah riba terbagi menjadi dua bagian, riba jail dan eiba khafi. Riba jail sama dengan riba nasiah dan riba khafi jalan yang menyampaikan riba jail. Dimana riba nasiah adalah riba yang mahsyur dikalangan kaum jaahiliyah, riba nasiah ini riba yang pembayaran atau penukarannya dilipatgandakan karena waaktu yang diundur.

D. Hal-hal yang menimbulkan riba.

Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu mas dan perak dengan jenis atau bahan makanan yang lainnya.

E. Dampak riba pada ekonomi.

Riba dapat menimblkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan barang dan jasa semakin tertimbun, akibatnya perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.

BAB 6 PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI

A. Pengertian.

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al tijarah atau al mubadalah, menurut istilah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara skarela diantara kedua belah pihak yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian.

B. Rukun dan Ayarat jual beli.

Rukun jual beli ada tiga yaitu akad, orang-orang yang berakad ( penjual dan pembeli ), dan ma’kud alaih ( objek akad )

C. Syarat-syarat sah ijab qabul.

1. Jangan ada yang memisahkan.

2. Jangan ada yang selingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.

3. Beragama islam.

Syarat-syarat benda menjadi objek akad adalah suci, member manfaat, jangan ditaklikan, tidak dibatasi waaktunya, dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, milik sendiri, diketahui.

D. Macam-macam jual beli.

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.

E. Khiar dala jual beli.

Khiar dibagi menjadi tiga macam yaitu khiar majelis artinya penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan atau membatalkan jual beli, yang kedua khiar syarat artinya penjual yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual atau pembeli, yang ketiga khair aib artinya jual neli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.

F. Berselisih dalam jual beli.

Bila penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjuabelikan, maka yang dibenrakan adalah kata-kata yang punya barang, bila keduanya tidak ada saksi dan buktinya.

G. Badan perantara.

Badan perantara dalam jual beli disebut dengan simsar, yaitu orang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang itu akn diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaanya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya.

H. Lelang.

Penjualan dengan cara lelang dibolehkan dalam islam, dan lelang ini disebut muzayadah dan dijelaskan oleh Rasululllah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.

I. Penjualan tanah.

Menurut mazhab syafi’I, semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di atas tanah itu turut terjual, tetapi tidak termasuk didalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus.

J. Buah-buahan yang rusak setelah dijual.

Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual bukan tanggunagn pembeli.

BAB 7 PINJAMAN (‘ARIYAH )

A. Pengertian.

Menurut bahasa redaksi dari para ahli ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada seseorang secara cuma-cuma.

B. Dasar hukum ‘ariyah.

Menurut sayyid sabiq tolong menolong adalah sunnah. Sedangkan menurut al ruyani bahwa ariyah hukumnya wajib ketika aawala islam. Adapun landasannya tertera pada QS Al Maidah: 2.

C. Rukun dan syarat ‘ariyah.

Menurut syafiiyah rukun ariyah ada tiga yaitu kalimat mengutangkan, mu’ir yaitu orang yang mengutangkan, dan benda yang diutangkan.

D. Pembayaran pinjaman.

Setiap orang yang meminjam kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah oramg yang tidak membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya.

E. Meminjam pinjaman dan menyewakan.

Menurut mazhab hanbali, peminjam boleh memnafaatkan barang peminjam atau siapa saja yang menggantikan statusnya selam peminjamna berlangsung, kecuali barang tersebut disewakan.

F. Tanggunag jawab peminjam.

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena lainnya.

G. Tatak rama berutang.

Nilai-nilai sopan santun yang terkait ada beberapa, yaitu sesuai dengan QS Al Baqarah:282, pinjaman hendaknya dilakukan saat membutuhkannya, pihak berpiutang hendaknya niat untuk memberikan pinjamnnya, pihak yang berhutang bila mampu membyar maka segera untuk membayar.

BAB 8 PEMINDAHAN UTANG ( HIWALAH )

A. Pengertian.

Menurut bahasa hiwalah artinya memindahkan atau mengoperkan. Sedangkan menurut istilah ada berbagai pendapat, salah satunya Hanafiyah. Hanafiyah berpendapat memindahkan tagihan dari tangguang jawab yang beruatng kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.

B. Rukun dan syarat hiwalah.

Syarat-syarat menurut hanafiyah yaitu orang yang memindahkan utang, orang yang menerima hiwalah, orang yang dihiwalahkan, adanya utang muhil kepada muhal alaih.

C. Beban muhil setelah hiwalah.

Apabila hiwalah berjalan sah, denga sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil.

BAB 9 PINJAMAN DENGAN JAMINAN ( RAHN )

A. Pengertian.

Menurut bahasa ialah pentapan dan penahanan. Sedangak secara istilah syara salah satunya adalah gadai ialah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.

B. Dasar hukum rahn.

Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam meminjam dengan jaminan adalah QS Al Baqarah:283 dan al hadis yang diriwayatkan oleh ahmad, bukhari, nasai dan ibnu majah dari anas ra. Agama islam tidak membeda-bedakan anatar orang muslim dan non islam dalam bidang muamalah.

C. Rukun dan syarat gadai.

1. Akad ijab qabul.

2. Aqid, yaitu yang menggadaikan.

3. Barang yang dijadikan jaminan.

4. Ada utang.

D. Pengambilan manfaat barang gadai.

Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai ditekankan kepada biaya atau tenag untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban taambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu misalnya hewan.

E. Risiko kerusakan marhun.

Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawab murtahin.

F. Penyelesaian gadai.

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugiakan dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, walaupun ada akad gadai itu sah tetapi syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murahin ssendiri tetapi dengan harga yang umum pada waktu itu.

G. Riba dan gadai.

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat.

BAB 10 SEWA MENYEWA DAN UPAH ( IJARAH )

A. Pengertian.

Al ijarah berasal dari kata al ajru yang arti menurut bahasanya ala iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Menurut para ahli ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imabalannya diterjemahkan dalam bahasa indonesiannya adalah sewa menyewa dan upah mengupah.

B. Dasar hukum ijarah.

Dasar hukum ijarah terdapat dalam QS Al Thalaq:6, al hadis yang dirieayatkan ibnu majah dan landasan ijma ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah.

C. Rukun dan syarat ijarah.

1. Mu’jir dan mustaa’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa.

2. Shigat ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir.

3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak.

4. Barang yang disewakan.

D. Upah dalam pekerjaan ibadah.

Mazhab hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti meyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca al qur’an yang pahalanya dihadiakan kepada orang tertentu.

E. Pembayaran upah dan sewa.

Jika ijarah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnyya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak diisyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhan, menurut abu hanafiyah upahnya wajib diserahkan secara berangsur sesuai denagn manfaat yang diterimanya.

F. Menyewakan barang sewaan.

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalalian musta’jir.

G. Pembatakan dan berakhirnya ijarah.

Ijarah akan batal jika terjadinya cacat pada barang sewaan, rusaknya barang yang disewakan, rusaknya barang yang diupahkan, terpenuhinya manfaat yang diakadkan, boleh fasaqh ijarah dari salah satu pihak.

H. Pengembalian sewaan.

Ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.

Tidak ada komentar: